“Dinda, tolong ambilkan kapur itu!” Naya menunjuk pada sebuah kotak kapur yang berisi beberapa kapur yang tak layak pakai. Spontan gadis kecil bernama Dinda itu pun beranjak menuju kursi lusuh yang tersandar di tembok berwarna kehitaman. Pulasan cat tak lagi terlihat jelas di sana. Sementara di atasnya, berpuluh-puluh kendaraan berjajar tak karuan persis seperti antrian sembako warga di sudut-sudut Negara ini.
Naya pun mulai menulis pada tembok-tembok yang telah ia bersihkan terlebih dahulu. Angka demi angka terukir membentuk rumus-rumus matematika yang pernah ia pelajari di kelas 2 sekolah dasar dulu. Sementara adiknya, Dinda hanya memerhatikan setiap gerak kapur itu. Ia tak mengerti sama sekali arti setiap goresan kapur yang sekarang memenuhi ruang kosong di tembok. Sesekali Naya berhenti. Mengingat-ingat pelajaran yang telah ia tinggalkan selama dua tahun ini.
“Kak Naya, aku lapar.” Dinda mengeluh. Sejak pagi perutnya belum terisi secuil makanan pun. Kali ini Naya benar-benar menghentikan kegiatannya. Dipandangnya sosok tubuh yang kurus kering, dengan wajah yang jauh dari batas bersih. Penampilan kumuh itu sama dengannya. Sejak ditinggal ayah dan ibunya, mereka terlantar di jalanan. Rumah kontrakan yang dulu di tempatinya, harus ditinggalkan karena tak mampu membayar sewanya. Untuk makan saja mereka kadang harus menunggu sisa-sisa makanan yang dibuang oleh salah satu pegawai restoran tempat biasa mereka ngamen.
Naya pun harus rela melepas impiannya di bangku sekolah. Menjadi seorang dokter. Rasanya tidak akan pernah terwujud.
“Kak, Dinda lapar!” Dinda mulai merengek. Naya meraba sakunya. Lalu mengeluarkan sebungkus permen untuk pengganjal perut adiknya itu.
Ia bangkit dan melihat sekitar.
“Ayo!” Ajaknya singkat. Dinda pun mengikuti perintahnya dan berlari kecil mengejarnya yang telah melangkah lebih dulu. Dengan beberapa tutup botol di tangannya, merekapun mulai menyanyikan lagu-lagu anak yang mereka tahu, guna menghibur beberapa orang yang sedang asyik makan di sebuah restoran. Alhasil, para pengunjung yang merasa kasihan pada mereka memberikan koin-koin lima ratus, dua ratus, atau bahkan seratus. Sebagai tanda keprihatinan mereka.
Setelah merasa cukup, merekapun beranjak ke kursi lainnya. Lalu mulai memainkan kembali nada-nada dari tutup botol yang telah dirangkai sedemikian rupa itu. Naya terus memukul-mukulkan benda itu di telapak tangannya, sementara Dinda terus bernyanyi memamerkan suaranya yang lumayan bagus untuk standar anak-anak seusianya.
# # #
Naya memandang ke awan pekat yang menenggelamkan bintang-bintang. Sebentar lagi akan turun hujan. Namun, angannya masih terus menerawang di balik awan itu. Menumbuhkan kembali mimpi-mimpi itu walau hanya sesaat. Sama. Kedudukannya tetap saja hanya sebatas mimpi. Tak akan mungkin berubah menjadi kenyataan yang apabila dipikirkan saja sudah membuat kita merasa mustahil untuk mewujudkannya. Namun, itulah mimpi. Yang akan terus menyinggahi setiap asa manusia. Membawa si pemimpi ke alam yang jauh dari kenyataan hidup. Bahkan untuk seorang gadis kecil yang baru memekarkan kuncupnya.
Dinda datang menghampirinya. Tampaknya ia merasa kegatalan setelah di serbu ribuan nyamuk yang tebang bebas di tempat itu. Suara klakson yang riuh oleh kendaraan yang masih berkeluyuran di atas jembatan membuatnya tak lagi bergairah untuk tidur. Padahal, aktifitasnya hari ini cukup melelahkan dari hari-hari sebelumnya. Mereka harus ngamen selama kurang lebih 12 jam untuk memenuhi kebutuhan mereka hingga tiga hari mendatang. Tentu gadis mungil itu sangat kelelahan.
“Kakak belum tidur?” Tanya Dinda sambil mengucek-ucek matanya. Naya hanya memandanginya dengan senyum tersungging di bibir. Dinda pun mengambil posisi di sampingnya, ikut memandangi awan hitam itu dengan pandangan bingung. Mencari bintang yang tak tampak walau hanya sebuah.
“Dinda nggak kangen Bunda?” Tanya Naya tiba-tiba. Wajahnya masih terpaku pada langit luas tak berhias itu. Dinda terkejut. Di arahkan pandangannya pada sang kakak. Mereka tak berkata apa-apa satu sama lain. Saling berusaha mengingat-ingat kenangan - kenangan indah bersama wanita yang mereka panggil Bunda. Seketika itu bening membasahi pipi kedua gadis kecil itu. Tersentuh oleh memory indah yang tak mungkin dapat kembali. Sentuhan Bunda yang dulu mereka rasakan tak lagi berbekas.Hilang bersama sosok wanita yang mereka agung-agungkan kasih sayangnya itu.
“Dinda, lihat itu!” Naya menunjuk pada bintang kejora yang tampak di tengah-tengah pekatnya awan. Cahayanya yang begitu mempesona membuat mereka takjub. Dinda menghapus air matanya. Saat itulah Naya berjanji pada dirinya bahwa tangisan kali ini adalah tangisan terakhir dalam hidupnya. Karena sekalipun Bunda tak lagi berada di tengah – tengah mereka, namun ia masih memiliki satu harta yang paling berharga. Dinda masih ada di sampingnya. Itu sudah cukup.
# # #
Tak terasa waktu berputar bersama tahun yang terus berganti. Kini kedua kakak beradik itu tumbuh menjadi gadis remaja yang tangguh menghadapi hidup. Pengalaman pahit yang mereka rasakan selama ini telah membiasakan mereka menjadi gadis yang mandiri.
Dengan gelar dokter yang di sandangnya, ia menatap kedua orang tua angkatnya dengan penuh percaya diri. Kalau bukan karena Pak Rudi dan Bu Aini yang mengangkatnya menjadi anak, mungkin ia tidak akan mendapat kesempatan untuk melanjutkan cita-citanya yang telah tertunda.
Kala itu Bu Aini tengah berbekanja di mal. Namun, tanpa sengaja dompetnya terjatuh. Sehingga menyebabkan ia kelimpungan mengitari seisi mal. Ketika ia hampir putus asa, seorang gadis yang pakaiannya tampak lusuh datang membawakan dompetnya. Ia terkejut dan langsung sujud syuku saking bahagianya.ia pun menelphon suaminya dan mengabarkan tentang hal itu. Saking asyiknya, ia sampai lupa bahwa gadis itu telah pergi. Bu Aini sangat menyesal. Ia berusaha mencarinya. Namun, ia tak menemukannya di sekitar mal itu.
Beberapa hari kemudian ia bermaksud berbelanja lagi di mal itu. Dan ia sangat terkejut ketika menemukan gadis itu berada di salah satu sudut mal itu. Ia pun menghampirinya dengan wajah sumringah.
“Kamu gadis yang waktu itu kan?” Sapa Bu Aini ramah. “Saya Aini, nama kamu siapa?”
“saya Naya.” Jawab Naya ragu. Setelah ngobrol beberapa lama, dan mengetahui keadaam Naya, Bu Aini pun bermaksud untuk mengangkatnya sebagai anak.
Awalnya ia menolak. Namun, setelah Bu Aini meyakinkannya, ia pun menerima tawaran itu. Dan memohon agar adiknya juga di beri kesempatan untuk tetap bersamanya.
Saat itulah kehidupan baru dimulai. Berbekalkan kemampuan intelektual yang memang sudah dimiliknya, ia sering mendapat penghargaan atas prestasinya. Hingga ia dapat menjalani masa kuliah di jurusan favoritnya, kedokteran.
# # #
Malam semakin larut. Namun, Naya masih asyik dengan pikirannnya. Pandangannya tertuju pada awan pekat yang menyelimuti malam. Kini ia mengerti arti sebuah mimpi, harapan. Kejora itu mulai menampakkan diri di sela-sela pekatnya malam. Pesona masih sama seperti yang dulu. Tak ada yang berubah.
Senyum terbesit di bibirnya. Matanya menatap seiring dengan hembusan syukur dalam hati. Santuhan lembut menghalaunya dari belakang.
“Kakak belum tidur?” Tanya Dinda lirih. Ia memandangi sang adik dengan seutas senyum. Hatinya berbisik, “ Terima kasih ,ya Allah……Terima kasih.”
# # #
Wah, Ka, lu ngambil cerpen gue ya?? plagiat nih,,
BalasHapus