Selasa, 20 Maret 2012

Setetes Embun Di Tasbih Rinduku


Ham, Arfi mana?”Tanya seorang lelaki usia tujuh belasan. Tangannya lincah memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas punggung berwarna hitam kecoklatan.
              “Di kamar mandi!”Teriak seseorang yang dipanggil Ilham
            “Cepetan,udah siang nich!”
            Tak berapa lama, seorang pemuda dengan handuk yang melilit tubuhnya berlari-lari kecil menuju kamar.
            “Fi, cepetan!”Teriak Ridwan, sedikit melirik ke arah Arfi  yang malah nyengir sendiri .Penyakit lamanya kambuh.Apalagi kalau masalah yang berhubungan dengan kasus PER-CE-PA-TAN. Huh, langsung kalah telak.
            “Ya, bentar!” Jawab Arfi singkat.
            Hiruk-pikuk kota apel (Malang) semakin terasa. Raungan kenal pot dari kendaraan yang berkeluyuran saling memperdengarkan keberisikan suaranya. Seakan ingin memecah rekor sebagai kendaraan dengan suara terberisik sedunia.
            Lain halnya dengan ketiga remaja muda yang baru menyelesaikan studynya ini. Mereka telah siap dengan setelan baju ala pesantren. Kopiah hitam, baju kokoh, dan ransel yang tampak membengkak saking penuh kapasitas. Entah apa isinya. 
“Wan, jadi nggak mampir ke rumahku?” Tanya Artaf menawarkan.
            “Em,nggak ah.Ibu udah nunggin aku di rumah.Lagian aku juga punya janji sama om Ikhsan,mau jengukin tante Ria di rumah sakit.”
            “Oh,ya udah. Salam ke tante Ria ya!”
            “Iya…..”
            “Lo Ham, nggak ada rencana apa-apa?”
            Kali ini perhatian Artaf tertuju pada Ilham yang sedari tadi diam tanpa kata.
            “Ada.Beliin oleh-oleh Adek, nyariin baju hamil untuk ibu, sarung buat Bapak, and………”Ilham kembali terdiam, memikirkan daftar barang-barang belanjaannya.”Aha…..kasur!”
            “Hah,kasur??????!”Ujar Artaf dan Ridwan hampir bersamaan.
            “Iya, kasur.Soalnya, kasur di kamarku kebanjiran, abis diompolin Rofi’,itu-tu Adekku yang ketujuh.He….he….he…”
            “Wah, parah banget, tuh….”Ucap Ridwan pelan. Rasa heran, bingung, dan penasaran bercampur menjadi satu di dalam benaknya. Heran karena mengetahui keluarga Ilham yang beda dari yang lain, alias unik + langka. Bingung karena memikirkan struktur organisasi keluarga Ilham yang tergolong RUMIT.Penasaran akan rahasia yang menyebabkan Ilham bisa memiliki dua belas saudara yang semua berjenis kelamin laki-laki. Kok bisa ya?   

            “Treeeeet….”Sebuah angkutan umum lokal berhenti tepat di depan mereka. Tanpa berpikir panjang dan dengan semangat menggebu-gebu, Ilham mendahului kedua temannya untuk menumpangi lane hijau yang pintunya terbuka lebar.
            “Allahu akbar, Allahu akbar “Tiba-tiba suara adzan berkumandang di salah satu masjid kota.         “Ham-Ham….!”Tegur Ridwan dengan suara yang terdengar lebih berat.
            Seperti tersadar akan suatu pertanda, Ilham pun mengurungkan niatnya. Semangat yang tadinya menunjukkan presentase 100 %, kini turun drastis menjadi 5 %. Dan menurut perkiraan, masih akan turun mendekati 0 %.

            “Ya udah, kita sholat dulu, yuk!”Ajak Ilham dengan nada lemas.
            Merekapun berjalan ke arah masjid di mana suara adzan tersebut terdengar dengan syahdu.                                                           
                                                                        
*       *       *

Setengah jam berlalu. Namun,  tak satupun lane yang datang menawarkan tumpangan. Mereka pun diam tanpa saling menegur satu sama lain karena sibuk dengan pikiran masing-masing.
Siang itu kota Malang memang tampak sedikit berbeda. Awan hitam yang menghalangi terik matahari tak mendukung keceriaan hati Ridwan, Artaf, terlebih Ilham.
            “Aduh, masih sempat nggak ya, belanja-belanja?”Ujar Ilham seraya mengarahkan pandangannya pada awan hitam yang semakin pekat.
            “Insya Allah sempat,tapi resikonya harus rela-in kasurnya keujanan loh……” Timpal Ridwan menggoda. Sementara sasarannya hanya mengerutkan dahi, sampai kelipatan sepuluh.
            Tiba-tiba sebuah lane tampak dari kejauhan. Warnanya yang hijau sangat akrab di mata Ilham. Matanya pun ikut menghijau saking senangnya.
                      Eh,lanenya datang, tuh!!!!!!!”Teriak Ilham, semangat. Ketika lane itu telah benar-benar menepi, mereka pun segera berlari-lari kecil dan berniat menaikinya.
            “Ah, Akhirnya penantianku berakhir juga…..”Gumam Ilham, “Terminal ya, pak!”
Selama perjalanan mereka bergantian menceritakan pengalaman pribadi masing-masing selama nyantri di pon-pes Al-Hikmah, Malang. Tempat mereka menimba ilmu.
Artaf bercerita pengalamannya ketika diajak kyai Ruslan untuk menghadiri sebuah pengajian di salah satu pondok pesantren di Jakarta. Sementara Ilham berkali-kali mengeluh ketika bercerita tentang kisah tersedihnya selama di pondok.
            “Hem, Artaf enak diajakin Yai ngehadirin pengakian. Lah,aku! kena takzir pengurus karena nggak sholat subuh berjama’ah, pernah. Telat masuk diniyah, pernah. Gara-gara buang sampah sembarangan, apalagi. Sering banget, tuh!!!!!!!”
            Artaf dan Ridwan hanya mesem-mesem ketika mendapati ekspresi Ilham saat menuangkan seluruh isi hatinya, alias CURHAT.
            Saking asyiknya, mereka sempat bingung saat lane yang mereka tumpangi berhenti di tengah jalan. Lampu lalu lintas di perempatan jalan  menunjukkan warna merah. 
            Arfi melayangkan pandangan ke arah  kendaraan yang mengisi setiep ruas jalan. Sosok kecil dan kumuh tampak di antara mobil-mobil mewah yang berjajar rapi. Tangannya terbuka lebar meminta sedikit harapan dari tiap-tiap receh yang diberikan setiap orang yang merasa kasihan.
Hati Arfi miris  ketika bocah berusia sekitar 4 tahun mendekati pengendara sepeda motor yang berpenampilan sangat mewah, ia malah didorong hingga tersungkur ke jalan. Padahal, apa salahnya memberikan sedikit rejeki untuk kelangsungan hidup mereka. Toh, recehan Rp.500 yang sering menjadi batas maksimal pemberian itu tidak akan mengurangi nikmat yang ada pada mereka. Tidak akan membuat mereka jatuh miskin. Tapi, mengapa justru recehan 100, 200, atau Rp.500 itulah yang sulit keluar dari dompet yang tebalnya bersenti-senti. Sedangkan untuk sebuah pesta yang cenderung digunakan untuk berfoya-foya, mereka rela mengeluarkan beratus-ratus ribu, atau bahkan beratus-ratus juta, hanya untuk mengenyangkan perut-perut yang sebenarnya sudah sangat kekenyangan. Sedangkan mereka yang kelaparan, dibiarkan terus memegangi perutnya yang tidak tersentuh oleh secuil makananpun selama berhari-hari.
            Arfi memejamkan matanya. Tak tahan melihat fenomena-fenomena seperti itu. Butiran air mata keluar dari mata sendunya. Mengalir dan terus mengalir. Meninggalkan seorang bocah laki-laki yang berlari-lari kecil menuju wanita paruh baya yang menunggunya di depan rumah.
            “Ayo, sayang!” Ujar wanita itu mengulurkan tangannya.
            Tubuh mungil itu kini mendarat di rangkulan ibunya. Kasih sayang terbesar dicurahkan seluruhnya pada anak semata wayangnya itu.
            “Arfi mandi dulu,ya!” Perintah bu Aisyah seraya melepas kedua tangannya. Dengan segera Arfi pun kembali berlari-lari kecil menuju kamar mandi. 
                                                             *       *        *
            “Bu-Bu, kopiah Arfi mana?” Tanya Arfi. Terlihat jelas di wajahnya, bahwa ia sedang kebingungan mencari kopiah kesayangannya.
“Di atas meja, sayang.” Jawab Bu Aisyah lembut.
            Arfi segera berlari-lari kecil menuju meja belajarnya. Seperti kata bu Aisyah, ia menapati kopiah beserta perlengkapan ngaji lainnya telah tertata rapi di sana.
            “Bu, Arfi  ngaji dulu, ya!” Ujarnya Arfi, penampilannya terlihat sangat menggemaskan, “Oh, ya. Bu, Arfi udah bisa sholat loh! Terus udah tahu doa mau tidur. Dengerin ya,Bu!”
            Arfi mulai membacanya. Sesekali terdapat kesalahan, tetapi ia segera membenarkannya.
            Mata Bu Aisyah berkaca-kaca. Terharu sekaligus bersyukur melihat Arfi kecil tumbuh menjai generasi muda islam yang dapat diharapkan.
            “Arfi. . . . Arfi . . . . .”Suara teriakan teman sebayanya terdengar dari luar rumah.
            “Bu, Arfi berangkat ya!” Seru Arfi seraya membalikkan badan. Setelah melangkah beberapa meter, ia terhenti. “Ups, lupa. Arfi belum salaman.” Ia pun kembali menghampiri Bu Aisyah dan mencium punggung tangannya. Hal kecl seperti itulah yang selalu memekarkan senyum di bibir Bu Aisyah.
Sekalipun Ayahnya telah lama meninggal, tapi Artaf tak pernah merasa kekurangan kasih sayang seorang Ayah. Bu Aisyah teah menjadi ibu sekaligus bapak yang lebih dari sempurna untuknya.
Setiap hari, Bu Aisyah mendidiknya menjadi sosok yang dapat mandiri dan bermanfaat bagi siapa saja. Dan menjadi muslim yang selalu berpegang teguh pada prinsip dan ajaran islam. Sehingga tidak terpengaruh dengan pergaulan ala remaja era globalisasi saat ini.
GUBRAK……
Suara benda yang terhempas keras mengusik lamunan Artaf.
            “Maaf Bu, Maaf!” Seorang laki-laki di hadapannya menunduk-nunduk minta maaf.
            Ilham lagi, Ilham lagi. Kali ini ia bermasalah dengan ibu-ibu yang serempak mengenakan pakaian serba putih. Tampaknya mereka akan menghairi sebuah pengajian. Terlihat dari setelan baju, jilbab, an tasbih yang melilit pergelangan tangan salah satu ibu yang bertabrakan engan Ilham. Dan karena itulah beberapa barang bawaannya terjatuh. Begitu pula engan tasbih yang tadinya melilit pergelangan tangan beliau.
Dengan segera Artaf mengambil tasbih itu. Ia sempat mencermatinya sebelum mengembalikan pada pemilik asli. Senyum terukir di bibirnya. Ia mendapatkan satu lagi hikmah dari kejadian itu.

                                                                                ***

            Setiap yang bernyawa pasti akan kembali pada-Nya. Potongan ayat itu mengiringi denyut nadi yang kian melemah. Darah segar menutupi cahaya wajahnya. Semua terasa mulai menggelap. Hilang satu persatu. Tapi, kehangatan tasbih yang tergenggam di tangan kanannya masih dapat irasakan dengan jelas.
            “Aduh, aku di mana?” Ujar Arfi ketika tersadar dari pingsannya.
            Sepi. Tak ada satu orang pun di sana. Keadaan di tempat itu sedikit gelap. Ketika ia hendak melangkah, kakinya terasa kaku. Kepalanya pusing tak tertahankan. Ia kembali tak sadarkan diri. Suasana menjadi semakin gelap, semakin sepi.
 Suara langkah terdengar samar. Seorang laki-laki keluar dari salah satu toko yang khusus menjual peralatan muslimah. Kotak berwarna biru dengan hiasan bunga-bunga, terbungkus oleh kresek putih bertuliskan nama toko itu, ’Syahdan Shop’.
            “Udah, Fi?” Tanya seseorang yang tiba-tiba menghampirinya.
            “Udah, nih!” Jawabnya singkat, seraya menunjukkan bingkisan yang di bawanya.
            Mereka pun segera menuju stasiun kota. Ilham telah berangkat lebih dahulu. Karena jalur yang akan mereka tempuh berbeda.
            “Kiri, Pak!” Seru Ridwan pada sopir lane. “Aku balik dulu, ya! Kalau kamu dah nyampe’, telfon aku ,ya!”
            Ridwan melangkah keluar. Setelah mengucap salam, ia pun berlalu. Sementara Arfi masih harus melanjutkan perjalanan.
            Sesampainya di stasiun, ia segera membeli tiket. Sambil menunggu kereta jurusan Malang-Surabaya yang baru akan sampai di stasiun pada pukul 5 sore, ia memutuskan untuk sholat ashar dan menelfon ke rumah. Sekedar memberi tahu kabar kepulangannya.
            “Assalamu’alaikum…..”Sapa Arfi sopan.
            “Wa’alaikum salam…”Jawaban dari seberang sana,”Arfi, ini Arfi ya?”
“Ia bu, ini Arfi.” Jawab Arfi mulai terisak. Rindu yang luar biasa menjalari seluruh tubuhnya ketika suara syahdu itu kembali mengisi kekosongan hatinya. Selama mondok ia tidak pernah menginjakkan kaki di kampung halamannya, sehingga 9 tahun berlalu tanpa belaian ibunda tercinta.
            “Arfi,nak. Kapan kamu pulang?”Tanya Bu Aisyah yang ikut terisak.
            “Iya Bu, Arfi pulang….” Ibu gimana kabarnya?”
            “Alhamdulillah ibu baik,nak.”Suara lembut ibu  menenangkan hati Arfi“Arfi, udah sholat belum?”
            “Sudah, Bu.”
            Pebincangn berlangsung cukup lama. Keduanya tengah asyik menuangkan rasa rindu yang tak lagi dapat terbendung. 
                                                            #          #         #
            Arfi duduk sendiri di kursi panjang yang teletak agak jauh dari loket pemesanan tiket. Matanya mentap lurus ke lantai stasiun yang tampak menghitam. Kebisingan di tempat itu memang tak bisa dielakkan lagi. Namun, ia mencoba bersabar. Menenangkan diri di tengah keramaian itu.
            Tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang gadis yang berjalan menuju toilet. Jilbab panjang yang melilit wajahnya memberi kesan tersendiri. Arfi memandang beberapa saat, sebelum tersadar akan sesuatu yang pernah didengarnya dari ustad Ruslan. Bahwa sebagai seorang muslim seharusnya kita menjaga pandangan, terutama pada saat keramaian menyelimuti.
            Ia segera mengalihkan pandangannya. Dan beristighfar beberapa kali. Meskipun ia sendiri tidak dapat memungkiri bahwa hatinya masih di sana. Namun, pandangan terganggu oleh dua orang pria yang berpenampilan layaknya preman pasar. Ia hendak menuju toilet di mana gadis berjilbab itu berada. Arfi gelisah. Hatinya makin tak tenang. Pandangannya  tertuju pada toilet yang tampak gelap dan sunyi.
            Ia pun segera menuju toilet. Sekedar melihat keadaan gadis itu. Ia terkejut melihat apa yang terjadi di hadapannya. Wajahnya memerah. Gadis itu berusaha melepaskan cengkraman kedua lelaki tersebut. Tangisannya tercekik karena mulutnya ditutup oleh salah seorang preman itu. Keadaanya sangat memilukan. Dengan cepat Arfi melayangkan tinju ke arah dua lelaki tersebut. Amarahnya tak dapat ditahan. Perkelahian pun terjadi dengan sengit. Namun, setelah beberapa lama dua orang preman itu akhirnya bisa dilumpuhkannya. Ia lalu membawa mereka ke kantor polisi. Agar mereka di hukum atas tindakan tersebut.
            “Terima kasih.” Ujar gadis berjilbab itu singkat, wajahnya masih tampak shok. Arfi hanya membalas dengan senyuman. Tubuhnya disandarkan pada kursi panjang di teras kantor polisi.
            “Di mana keluargamu?” Tanya arfi memecah kesunyian.
            “Mereka dalam perjalanan ke sini.”
            Mereka kembali terdiam. Hingga sorotan lampu mobil Inova putih menyadarkan mereka. Gadis itu langsung berdiri menyambut keluarganya. Seorang wanita paruh baya berlari ke arahnya. Wajahnya tampak begitu khawatir.
            Setelah berbincang lama dengan keluarga gadis berjilbab yang bernama Alis itu, akupun berpamitan menuju stasiun. Karena aku kereta malam yang terpaksa aku ambil itu akan segera datang.
            Arfi  melirik jam tangan. Jarum panjang mengarah ke angka 4. Sedangkan jarum pendek mengarah ke angka 9 lebih. Ia pun memutuskan untuk sholat isya terlebih dahulu.                         

*        *       *
Truuuuuuut
            Kereta yang dimaksud Arfi telah berhenti di stasiun.
            Setelah mendapatkan tempat duduk, ia mengeluarkan bingkisan yang sempat dibelinya. Ketika tutup kotak itu dibuka, kilauan cahaya yang bersumber dari tasbih yang berwarna putih bening tampak dengan indahnya. Kaligrafi bertuliskan Allah melekat pada setiap sisi butirannya.
            Tiba-tiba kilatan putih berganti menjadi suasana sepi dan sunyi. Jauh dari kebisingan kota. Pepohonan yang menjulang tinggi menyadarkan ia akan sesuatu. Dicobanya mengingat peristiwa yang menyebabkan ia beada di tempat itu. Percuma. Ia hanya mendapati runtutan kronologi yang bersifat abstrak.
            Ketika ia memperhatikan tasbih yang menempel di tangannya, seketika suara benda keras saling bearadu. Gerbong kereta yang ia tumpangi mulai berguncang dan…….
             “Astaghfirullahal ‘adzim…..” Berulang kali ia ucapkan kalimat itu. Tak lama kemudian tetesan bening berderai di matanya. Ia sungguh tak kuasa melakukan tindakan apapun. Terlintas di benaknya senyum ibu yang menunggunya di depan pintu rumah. Rasa rindu semakin menyesaki dadanya. Wajah ibu memenuhi setiap pandangannya. Hingga ia sampai pada titik di mana kemampuan seorang hamba tak lagi mampu mengubah satu takdir yang sudah di tentukan oleh sang Kholiq, dan memang sudah seharusnya terjadi. Matanya meredup. Nafasnya mulai tersenggal-senggal, keringat dingin membasahi wajahnya.
            Senyumnya merekah sebelum kemudian mengucapkan syahadat dan kembali kepada zat yang  Maha Menciptakan. Tasbih di genggaman tangannya terlepas, seiring dengan ruh yang ditarik dari tubuhnya. Suara adzan mengguncang seluruh kota, mengiringi kepergiannya menuju Sidrotul Muntaha.

                                                     >>>>>>****<<<<<<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar