Selasa, 20 Maret 2012

Senja Tak Selalu Menguning


Ibu adalah sosok yang begitu sempurna untukku. Sampai-sampai aku malu menatap matanya yang begitu teduh, tenang, dan menentramkan hatiku.
       Satu ketika aku pulang ke rumah dengan pakaian yang basah kuyup. Jam dinding di ruang tamu menunjuk ke arah angka dua belas.
       Rasa takut mendekap tubuhku. Takut akan sikap ayah dan ibu yang pastinya akan langsung memarahiku. Namun, setelah berfikir lama dan mengumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa, aku pun melangkah tebata. Kemudian mengetuk daun pintu yang terkunci rapat.
       “Assalamu’alaikum…..” Ucapku lirih sambil menahan gejolak hati yang tak karuan.
       Awalnya tak terdengar jawaban dari dalam rumah. Sebelum kemudian aku terkejut mendapati wajah ayah yang merah berang.
       “Kamu tahu sekarang jam berapa?” Tanya Ayah denga nada suara yang menyayat hati.
       “Maaf, Yah.” Ujarku menundukkan kepala.
       “Dasar anak tidak tahu malu!”
       Bentakan itu diiringi tamparan keras di pipi kiriku. Seketika aku tersungkur ke lantai.
       “Masya Allah. Sudah Yah, sudah!” Teriak ibu yang tiba-tiba berlari ke arahku.
       Aku menangis sambil menahan sakitnya tamparan ayah. Tapi, tangisan ibu terdengar lebih memilukan dariku. Aku tahu ibu tak tahan melihat sikap ayah yang begitu keras kepadaku. Berkali-kali beliau memeluk dan menciumku.
       “Kamu nggak pa-pa ‘kan sayang?”
       Dengan penuh perhatian ibu mengelus pipiku. Aku hanya menangis sambil menganggukkan kepala.
       “Untuk apa kamu peduli pada anak ini?” Ayah kembali membentak. “Apa masih kurang pendidikan yang ia dapatkan selama dua belas tahun di pondok pesantren?”
       “Sudah, Yah. Sudah! Jangan salahkan Ifa terus!” Ibu membelaku.
       “Ibu itu gimana sih? Anak salah kok dibelain. Apa kata tetangga bu?”
       “Maaf, maafin Ifa, Yah!” Ucapku memelas. Meski ayah tak menghiraukanku.
       “Bu, maafin Ifa, bu!” Ku arahkan pandangan pada ibu yang masih tersedu.
       “Kamu ngapain aja sayang? Kenapa pulangnya selarut ini?”
       Tanya itu membuat jantungku berdetak tak stabil. Aku sangat terkejut. Seketika otot-ototku terasa lemas. Tak lagi kuat untuk sekedar menjawab pertanyaan itu. Ku tatap wajah ibu dalam-dalam. Ada begitu besar harapan di sana. Harapan yang membuatku semakin tak tega menghancurkannya. Ku tahu bahwa itu adalah tatapan kasih terakhir untukku. Karena aku sadar setelah mereka mengetahui yang sebenarnya, kesempatan untuk dapat berkumpul bersama mereka sudah tidak ada lagi.

                                   #       #       #
      
       Hari ini, genap lima tahun aku meninggalkan rumah. Tempat dimana aku mengukir kenangan terindah sepanjang sejarah hidupku. Kalau ditanya tentang rindu, aku tak akan mengelak. Karena pada kenyataannya aku sangat merindukan mereka. Tapi, setidaknya aku tetap bisa tegar menghadapi alur hidup ini yang belum berakhir. Karena seorang pangeran kecil setia menemaniku. Menghapus setiap air mata yang bergulir. Membagi suka duka bersama. Ya, dialah satu-satunya alasan yang membuatku mampu melanjutkan hidup.
       “Alwi…..” Aku menyeru pada bocah laki-laki berambut ikal yang tengah asyik bemain. Tampaknya ia tidak mendengarkan aku. Jemarinya asyik mementalkan kelereng ke arah kelereng lainnya. Matanya bahkan tak berkedip sedikitpun.
       Aku maklum. Kutunggu sejenak sampai ia menyelesaikan permainannya. Ketika ia menyadari kehadiranku, iapun segera berpamitan pada beberapa temannya.Kemudian berlari ke arahku membawa raut wajahnya yang selalu ceria. Kamipun bergandeng tangan menuju gubuk kecil di ujung desa. Tempat kami menabur kasih.
       Mentari menjulang tinggi. Menapaki lintas alam yang begitu luas. Sinarnya menembus setiap lapisan atmosfer. Hingga terurai pada dedaunan hijau yang mengitari bukit. Hembusan angin menari lembut. Memberi sentuhan pada penduduk semesta. Panorama indah di bukittinggi memang begitu memuaskan. Jamuannya pada setiap pengunjung tak perlu diragukan. Satu tempat yang cocok untuk menenangkan hati. Itulah alasan yang membuatku ingin menyendiri di sini. Menata kembali rangkaian hidup yang porak poranda.
       “Alwi mandi, ya!” Pintaku.
       “Iya, Alwi mandi.” Jawabnya singkat. Iapun berlari menuju kamar mandi.
Namun, langkahnya kembali terhenti. Ketika ia membalikkan badan, aku melihat ekspresi wajahnya yang serius.
       “Loh, ada apa?” Tanyaku penasaran.
       “Ibu udah mandikan?”  Tanyanya balik.
       “Hem…..” Aku menarik nafas,”Ya udah la sayang, Nih, ibu udah wangi.” Ujarku sambil membungkukkan badan agar ia mencium aroma parfum di pakaianku.
       “O, iya. Ibu udah mandi.” Ujarnya sambil mengangguk-nganggukkan kapala, “Ya udah, Alwi mandi dulu ya, bu!”
       Aku tersenyum geli melihat sikapnya yang begitu lucu. Ku pandangi punggungnya yang kemudian berlalu di balik pintu kamar mandi.

                                       #     #     #

Kriiiiiiiiiiiiiiiiing
       Bel berbunyi sangat nyaring. Menggugah resah di hati para ibu yang mengantarkan anak mereka di hari pertama sekolah.Takut jikalau anaknya terlambat.
 ‘TK Pertiwi’ di mana aku mendaftarkan Alwi sebagai salah satu muridnya itu, kini tampak ramai. Dipenuhi suara tangisan anak-anak yang tidak ingin berpisah dari ibunya.
       Ibu-ibu itupun mencari cara agar anak mereka mau ditinggalkan sebentar untuk mengikuti pelajaran mereka. Ada yang menjanjikan es krim, boneka, atau bahkan jalan-jalan ke taman rekreasi. Namun, seakan sudah kebal akan rayuan, anak-anak itu tetap saja tak terpengaruh. Beberapa dari mereka bahkan menyanggah tawaran ibunya.
       “Ah, ibu bo’ong. Dulu juga ibu pernah janji mau main ke time zone, tapi sampai sekarang aku nggak pernah diajak ke sana.”
Seketika itu juga ibunya terdiam. Memikirkan cara yang lebih ampuh untuk mengelabuhi anaknya itu.
Ku layangkan pandangan pada Alwi. Ia bersikap santai. Tak terpancar sedikitpun perasaan gunda di wajahnya. Ia tidak begitu mendramatisir perasaan teman-temannya yang sangat tak rela ditinggal ibunya.
“Ntar, kalau udah selesai belajarnya, tungguin ibu, ya!” Perintahku seraya meletakkan tangan di bahunya.
“Oke, bu!” Jawabnya dengan senyum menggulung.
Ia pun melangkah memasuki kelas berukuran 12x7 yang dipenuhi hiasan khas anak-anak.
                            #   #   #
Seusai pelajaran, Alwi melangkah menuju gerbang sekolah. Matanya melirik ke arah jalan yang tampak ramai. Beberapa temannya telah dijemput oleh orang tuanya.
“Ibu mana ya?” Pikirnya dalam hati.Ia mulai cemas.
“Alwi, aku pulang dulu ya,” Sapa salah seorang teman yang baru ia kenal hari ini.
“Ia,” Jawabnya singkat. Kemudian kembali menerawang ke arah jalanan yang liar dengan kendaraan berkecepatan tinggi.
Perutnya bergeming. Sudah saatnya ia menerima asupan gizi siang ini. Namun, ia tak berani untuk pergi dari tempat itu. Karena ia sudah janji akan dijemput di sana. Akhirnya ia pun memutuskan untuk menunggu sebentar lagi.
Tiba-tiba satu sentuhan mengagetkannya dari arah belakang. Ia cukup terkejut.
“Itu pasti ibu,” Pikirnya.
Ia pun membalikkan badan dengan segera. Namun ia lebih terkejut ketika mengetahui bahwa orang yang menyentuh pundaknya tadi bukanlah ibu yang ia harapkan. Melainkan seorang laki-laki berpakaian rapi, berkulit putih, yang serasi dengan rambutnya yang hitam.
“Kamu kenapa sendirian?” Tanya lelaki itu.
Alwi tak menjawab. Matanya masih terpaku pada sosok di hadapannya.
“Nak, kamu sama siapa? Kok sendirian di tempat seperti ini?” Tanyanya lagi.
“Alwi lagi nungguin ibu,” Jawab Alwi polos.
“O..Jadi namamu Alwi.” Ujar lelaki itu.
“O,iya. Saya Aldi.” Lelaki itu memperkenalkan diri, “Kalau kamu mau saya akan mengantarmu pulang.”
“Tapi, ibu nyuruh aku nunggu di sini.”
“O..”Lelaki itu memahami.
“Om ini kelihatannya baik.” Alwi membatin.
“Alwi udah makan, belum?” Tanya Aldi.
“Belum,”
“Kalau begitu ikut om makan, ya!”
Alwi berpikir sejenak.
“Tapi, kalau ibu datang terus nyari Alwi gimana?” Awli sedikit ragu. Meskipun sebenarnya ia juga ingin menerima tawaran Aldi.
“Nggak pa-pa.Kita nyari tempat makan yang dekat dari sini aja.” Aldi  sedikik memaksa. “Di sana! Kita bisa makan di sana.” Telunjuk Aldi mengarah pada restoran yang letaknya tak jauh dari sekolah.
Alwi setuju.Mereka pun melangkah menuju restoran itu. Mengikuti keinginan perut yang sudah keoncongan.
Di tempat itu Alwi dapat makan sepuasnya. Sesuai keinginan hati.
“Makasih ya, om,” Ucapnya. Aldi hanya membalas dengan senyum.
“Alwi janjian sama ibu jam berapa?” Tanya Aldi ingin tahu.
“Jam setengah sebelas.” Jawab Alwi, samar. Mulutnya penuh dengan daging dari paha ayam yang di goreng kering + saos tomat dengan campuran berbagai bumbu dapur lainnya. Sehingga rasanya sangat goyang di lidah.
‘’Bener nggak mau dianter pulang ?” Tanya Aldi menawarkan untuk yang kesekian kali. Namun, gelengan kepala Alwi membuatnya menghentikan niat baik itu. Ia pun memutuskan untuk menunggu sampai ibu Alwi datang menjemputnya.
Tak berapa lama sebuah mobil menepi di dekat restoran itu. Wanita berjilbab lebar keluar dari sana. Wajahnya sangat familiar di mata Aldi. Perlaha wanita itu melangkah ke arah restoran. Matanya menerawang ke segala arah. Mencermati satu persatu sudut restoran itu.
“Ibu!!!” Alwi meneriaki wanita itu. Aldi sedikit terkejut. Dan hanya memandang reaksi Alwi yang segera berlari ke arah wanita itu.
“Alwi kok ada di sini?” Tanya wanita berjilbab yang ternyata ibu Alwi itu. Ia tampak khawatir akan keadaan Alwi.
“Alwi Cuma makan aja kok, abis ibu lama sih….” Wajah Alwi dibuat cemberut. “Lagian Alwi nggak sendiri kok. Jadi ibu nggak perlu khawatir.”
“Nggak sendiri? Emangnya Alwi sama siapa?”
“Tuh, sama om Aldi.” Telunjuk Alwi mengarah pada Aldi.
Aninda, ibu Alwi mengikuti arah telunjuk anaknya yang tepat mengarah pada sosok lelaki yang duduk di bangku, di sudut restoran itu. Mata mereka bertemu. Seketika itu juga mereka bersitatap satu sama lain. Suasana menjadi hening. Tak ada reaksi dari mereka. Alwi yang tak mengerti apa yang sedang terjadi langsung menarik baju ibunya. Memaksanya untuk menyapa lelaki yang baru dikenalnya.
Aninda tersadar. Dengan segera ia menarik lengan anaknya. Dan memaksanya meninggalkan restoran itu.
“Ibu, ada apa? Kenapa kita pulang sekarang? Alwi kan belum selesai makan.”
“Alwi, kita pulang sekarang aja ya. Ma’emnya di lanjutin di rumah aja.” Aninda segera menuju pintu. Meninggalkan lelaki di sudut sana yang memandangnya bingung.
“Aninda!!!” Aldi berteriak ke arah Aninda. Namun, Aninda seakan tak mendengar teriakan yang cukup memekikkan telinga itu. Ia terus melangkah tanpa menoleh sedikit pun.
“Aninda tunggu!" Aldi mencoba mengejar langkah Aninda.
“Ibu, om Aldi mau ngomong.” Alwi mulai merengek. Ia menahan kakinya untuk tidak berjalan secepat langkah ibunya. Aninda tak menghiraukan. Dengan cepat di bukanya pintu mobil dan menyuruh Alwi untuk segera masuk.
“Aninda biarin aku ngomong.” Aldi sudah berada selangkah di depan Aninda. Alwi yang berada di mobil semakin bingung dengan keadaan ini. Ia sama sekali tak mengerti akan masalah yang tengah dihadapi dua orang dewasa di hadapannya ini.
“Apa lagi yang perlu dibahas? Aku rasa semua sudah cukup.” Aninda memalingkan wajahnya.
“Apa tidak bisa kita memulai semuanya dari awal?” Wajah Aldi tampak penuh harap. Namun, hati Aninda masih belum lunak. Ia tetap tak menggubris kata-kata itu.
“Bagaimana dengan Alwi?”
“Kamu tidak usah memikirkan itu. Ia baik-baik saja. Tak ada masalah. Dan kamu bisa lihat. Ia tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan sesuatu apapun. Jadi kami tak perlu bantuanmu atau orang lain sekalipun.”
Aldi kehabisan kata-kata. Ia masih belum bisa menjalin hubungan baik dengan wanita yang pernah ditinggalkannya itu.
Aninda segera masuk ke mobil berwarna biru itu, lalu menyalakan mesin mobil. Tak berapa lama ia pun telah keluar dari tempat parkir. Meninggalkan lelaki bertubuh tinggi semampai itu di tengah kebisuannya.
#     #    #
Aninda memasuki kamarnya dengan wajah kusut. Hatinya sangat kacau. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya di pejamkan. Seketika itu pula ia mengingat kembali kenangan suramnya. Kenangan yang membuat kisah indah hibupnya berganti menjadi mimpi buruk yang selalu membayangi hari-harinya.
#     #     #
“Kenapa harus dengan jalan seperti itu?” Aldi bertanya dengan nada keras. Jelas ia tidak menerima usulan itu.
“Tapi kita harus melakukannya. Untuk kebaikan bersama.” Aninda memaksa.
“Tapi apa tidak ada cara lain? Kenapa harus dengan bercerai?” Aldi tampak kecewa. “Aninda, pikirkan lagi.”
Mereka terdiam sejenak. Mencoba memahami maksud masing-masing.
“Sudahlah….” Aninda menghempaskan tangannya. Lalu pergi meninggalkan Aldi yang memandangnya dengan tatapan kosong.
Sesuai dengan keinginan ayahnya Aldi pun menikahi Amira, gadis keturunan tionghoa yang dikenalnya sejak kecil. Amira memang gadis yang cukup manis. Ia memiliki pesona gadis yang tidak mungkin ditolak oleh lelaki mana pun. Namun, bagi Aldi kecantikan wajah Amira tak akan mengurangi cintanya pada Aninda. Ia sangat mencintainya. Itulah yang membuatnya tidak ingin melaksanakan keinginan ayahnya untuk bercerai dari wanita yang telah menemaninya selama beberapa tahun ini.
Kalau saja Amira tak mengalami kecelakaan itu. Mungkin ia akan tetap pada pendiriannnya untuk tidak menceraikan Aninda.
Keluarga Aldi dan Amira memiliki hubungan yang sangat dekat. Saking dekatnya, sampai setiap acara di keluarga Aldi tidak akan terlalui tanpa kehadiran keluarga Amira. Mereka sudah seperti keluarga besar. Saling membantu saat suka maupun duka.
Amira ternyata menyimpan hati pada Aldi. Hanya saja ia tak pernah berani untuk mengutarakannya. Hingga kabar pernikahan Aldi dan Aninda terdengar di telinganya. Ia sangat terpukul. Dan menyiksa dirinya sendiri. Hingga beberapa hari sebelum perceraian itu, ia pun mengalami kecelakaan mobil yang menewaskan ibunya. Amira menjadi sangat tertekan. Hingga ia tak lagi mau berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.
Pak Rian, ayah Aldi merasa perlu untuk membantu Amira. Dan setelah mengetahui perasaan Amira yang begitu besarnya kepada Aldi, ia pun mengusulkan untuk menikahi Amira. Agar ia dapat kembali seperti dulu. Menjadi gadis yang cantik dan ceria. Itulah satu-satunya cara yang terpikir oleh pak Rian. Namun, Aldi berkali-kali menolak permintaan itu. Ia tak akan sanggup memadu istrinya Aninda. Karena ia pasti akan tersiksa dengan keadaan seperti ini.
Satu ketika, pak Rian mendatangi rumah Aldi. Di sana ia mulai menutarakan maksudnya pada Aninda. Berharap agar Aninda memberikan izin kepada Aldi untuk memiliki istri dua. Tentu saja Aninda sangat terkejut. Ia hampir saja menangis. Hatinya terasa sesak ketika mendengar penuturan ayah mertuanya itu. Namun, dalam keadaan seperti ini, ia tak tahu lagi harus berbuat apa selain mengikhlaskan suaminya untuk menikahi gadis yang sangat membutuhkannya.
Dalam hatinya yang paling dalam, sungguh ia tak merelakannya. Namun, dalam keadaan seperti ini, ia tak seharusnya bersikap egois.
Hari-hari berlalu. Setelah berpikir akan solusi terbaik untuk dirinya dan keluarganya, ia pun memutuskan untuk bercerai dari Aldi. Karena ia tak memiliki keberanian yang cukup untuk menyaksikan Aldi bersama wanita lain yang berada di sisinya.
#    #    #
Aninda memandang ke arah matahari tenggelam. Cahaya kuningnya menerpa wajah mulus Aninda. Hangat menyusup perlahan. Ia memejamkan mata. Membiarkan seruan alam menerpa dirinya.
Rasanya sudah lama ia tidak menikmati suasana seperti ini. Sejak perpisahannya dengan Aldi.
Seberkas memori membesit di keningnya. Kenangan indah yang pernah diukirnya bersama lelaki pemilik mimpinya itu. Hatinya masih merekam semua kenangan itu. Sulit untuk terhapus.  
Enam tahun merupakan waktu yang cukup lama untuknya. Mengisi hari dengan kesendirian. Ia bahkan tak berniat untuk mencari pengganti Aldi. Karena rasa itu masih begitu kuat untuk dilepaskan. Hanya Alwi yang menjadi penghibur hatinya di kala duka. Sebagai kenang-kenangan dari mantan suaminya yang telah memberikan kebahagian terbesar dalam hidupnya, walau hanya sebentar.
#     #     #
Drrrriiiingggg…..
HP Aninda memekik keras. Mengisi kesunyian ruangan berukuran 7x5 itu. Ia segera meraihnya. Di layar terlampir nomor tak dikenal. Aninda memicingkan mata.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” Suara jawaban dari seberang sana. Dari nada suaranya, ia dapat menebak bahwa yang sedang berbicara dengannya adalah seorang pria.
“Aninda, ini aku.” Lanjut lelaki itu.
Aninda terkejut. Jantungnya berdenyut cepat. Ia ingat betul dengan suara ini. Suara yang pernah menenangkan hatinya. Menyerunya dengan panggilan manis. Ia tak mungkin melupakannya.
“M…mas Aldi.”
“Aninda, aku ingin berbicara denganmu. Biarkan aku bertemu denganmu, dengan anak kita.” Suara Aldi terdengar menggetar.
“Apa lagi yang perlu diomongin, Mas? Semuanya sudah berakhir. Sudahlah…..”
“Tapi Nin, aku hanya ingin memulai semuanya dari awal. Aku masih mencintaimu, Nin.”
Cesssss
Hati Aninda serasa membeku mendengar kata itu. Kata yang pernah meluluhkan hatinya. Membuat hidupnya dipenuhi mimpi-mimpi indah yang ternyata tak sesuao dengan harapannya.
Air mata Aninda perlahan menggenangi matanya. Lalu menetes membasuhi wajah lembutnya.
“Tidak bisakah kita bersatu kembali? Menjalani hidup bersama seperti dulu.” Aldi masih begitu mengharapkannya. Namun, sakit hati itu masih membekas jelas di sudut hati Aninda. Meskipun di bagian hatinya yang lain tetap menyimpan satu nama. Yaitu Aldi.
Ia juga sudah tahu tentang Amira yang telah meninggal beberapa tahun lalu. Seharusnya ia tidak lagi mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan. Tapi mengapa hati itu masih belum bisa menerima semuanya dengan lapang dada.
#    #    #
“Pak Aldi, sudah saatnya Anda untuk minum obat.” Seorang suster mengingatkannya.
“Ia, Sus.” Jawab Aldi singkat. Lalu kembali melanjutkan perbincangannya dengan Aninda. Namun, Aninda membisu di depan layar HPnya. Mengingat kembali masa-masa itu. Saat di mana ia menggugat cerai suaminya.
Sementara Aldi memaksakan tubuhnya untuk menahan rasa sakit itu walau hanya sebentar. Ia belum ingin menutup telepon. Masih merindukan suara wanita yang dicintainya itu.
Kanker paru-paru yang telah dideritanya selama hampir tiga tahun ini ternyata berkembang dengan cepat. Membuatnya harus menetap di rumah sakit sebelum akhirnya pergi meninggalkan dunia ini. Sesuai hasil tes kesehatannya. Diprediksikan ia hanya akan bertahan dalam waktu dua minggu ke depan.
Setidaknya di penghujung hayatnya ia dapat mewujudkan keinginan terakhirnya, yaitu kembali pada Aninda. Meskipun ia juga menyadari bahwa hal itu malah akan membuat Aninda semakin tersiksa. Namun, itulah harapan terakhirnya. Sebelum ia pergi untuk selama-lamanya dan menyesali semua ini.
#   #    #
Dua minggu berlalu sejak ia menerima telepon dari Aldi. Ia belum memberikan keputusan apapun. Hatinya masih dipenuhi rasa takut. Takut untuk memulai semuanya.
Mentari senja yang menutup hari ini tak menampakkan wajahnya. Sehingga Aninda tak dapat menikmati kehangatannya. Halaman belakang rumahnya yang menjadi tempat kesukaannya untuk menghabiskan sore, tampak lebih tenang. Tak ada satupun suara hewan yang biasanya bercanda ria di balik pepohonan dan semak-semak. Semua tampak sunyi.
Sejak hari itu, ia juga tak pernah lagi menerima telepon dari Aldi.
#      #      #
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar